11 Agustus 2009

Jakarta Dalam Ford Mewah

Oh Jakarta, 
Ada yang hilang darimu hari ini
Sengat matahari murka hingga tak dapat aku rasakan 
Debu-debu teman setiaku, kini menjauh 
Ceriwisnya angin ngambek tak berteriak padaku
Butiran-butiran asinpun tak bermanja lagi dipunggungku

Oh Jakarta,
Dalam kencana ini kau terlihat manis
Rangkul diriku meski sekejap dalam urutan hidup
Pencakar langit melambai sambut kedatangan
Siap manjakan kapanpun aku berkehendak
Sementara gemerlap syahwat berkerling centil 
Gelitik hasrat yang mengendap sejak penciptaan 

Oh Jakarta,
Tak aku lihat dirimu seperti biasa
Kesemarawutan hidup dengan problematikanya
Kebisingan yang melebihi angka desibel
Kemacetan dipinggiran pasar kumuh
Kumpulan manusia pinggir jalan
Hiruk-pikuk pedagangnya saat menyambut pagi
Tak aku rasakan keberadaanmu saat ini
Apakah kau berdandan jika aku dalam kotak hitam ini
Ataukah kau hanya miliknya

Oh Jakarta
Kau asing dibalik kaca ini
Keberadaanmu kini bagai mimpi sesaat
Hingga tak tampak lagi bayangku ditrotoarmu
Berpeluh dan mengusap kening demi sebuah harapan
Ya…harapan puluhan juta manusia
Berlomba untuk rasakan apa yang aku rasakan saat ini

Lanasetra,
Erlangga, 27 Januari 2007

Menatap Jaman

Aku lihat dari sini
Dari ruang sempit nan gelap…
Cerita sebuah masa yang semakin hilang
Logika menjadi raja dari jiwa-jiwa rapuh
Semakin senyap aku dengar lantunan petuah
Dari penyelesuran dimensi tak berbatas…
Hitam dan putih terlihat samar
Kebaikan dan kejahatan beradu tempur di kurusetra

Aku lihat dari sini
Dari ruang sempit nan gelap…
Tukang keruk tersenyum dietalase media terkemuka 
Berkedok dermawan untuk meraup untung
Penganyom sibuk lindungi tikus-tikus tamak
Berharap rempah-rempah yang tersisa
Pelayannya kini berlagak majikan 
Mencari receh dari kantong sang tuan
Sementara Penasehat lupa akan ilmunya
Demi amplop lupakan petuah 

Aku lihat dari sini
Dari ruang sempit nan gelap…
Bapak asyik melahap nikmat keperawanan 
Lampiaskan syahwat dengan darah dagingnya
Gadis cantik asyik bergeleng-geleng
Jual diri demi sebutir kegemerlapan malam
Pemuda gagah raih impian dengan mata pisau
Tak peduli keringat deras dari seorang buruh
Sementara bocah ingusan memperkosa anak tetangga
Film blue alasan keingintahuannya.


Aku lihat dari sini
Dari ruang sempit nan gelap…
Pertanda apakah dari waktuku sekarang?

Lanasetra
Erlangga, 24 Januari 2007

Kutemukan Engkau di Lempuyangan

Langkahku mengayun pada sebuah pengembaraan
Menuju atap-atap langit
Melihat karya tangan para dewa 
Raih ketenangan jiwa dari gelora napsu manusia

Langkahku mengayun pada sebuah Stasiun
Hiruk pikuk manusia berjejal pada keterpaksaan
Hingga aku tatap engkau disana…
Dikejauhan antara ribuan manusia 
Pancaran pesonamu menarik bola mata ini
Agar tak hilang dalam bingkai memori

Langkahku mengayun pada sebuah ruang
Dimana aku temukan engkau disisi jendela
Tak berkata…tak bersuara…apalagi bergerak
Hanya sesekali aku menatapmu, merekam semua keindahan
Detik demi detik aku isi otak ini dengan wajahmu
Jikalau engkau pergi tanpa mengenalku

Langkahku mengayun pada sebuah jalan
Aku lihat engkau disebuah warung
Pada kota yang kita hanya sebagai pendatang
Dirimu rebahkan penat dengan secangkir teh di pagi hari
Asik tertawa nikmati bersama sahabat

Langkahku terhenti pada warung dipinggir Lempuyangan
Senyummu adalah gerbang untuk pelabuhan jiwaku
Ajakanmu adalah ijin untuk sandarkan kesepianku
Tuturmu adalah sinyal untuk hempaskan hasratku
Tawamu adalah harapan untuk menyelami relung hatimu

Langkahku terhenti,
Tapi tidak untuk hasrat kita 
Sinar matamu menghujam jantung kacaukan detak hidupku
Gerak bibirmu getarkan Engsel persendian ragaku
Aku tatap kamu
Dan kamu tatap aku
Bertatapan wujud dialog kita…

Lanasetra
Erlangga, 20 Januari 2007

Negeri Dalam Bingkai

Negeri agung hijau limpah ruah
Setaman bunga hembuskan kepenjuru jagad
Musnah binasa oleh napsu manusia
Angkara membelit – menuai derita
Anak bangsa terperosok dalam carut marut kekacauan

Negeri agungku diambang ajal
Terseok napsu durjana manusianya…

Aku lihat api dan gelap
Bergumul dalam balutan muslihat
Merobek
Mencerca
Memporak-porandakan negeri agung nan hijau

Aku lihat getar bencana mencengkram
Melemparkan cahaya-cahaya putih
Hingga aku lihat warna oranye diangkasa
Berpusat memberikan celah putih
Meski kabut hitam berselimut

Hijaupun menggantikan merah
Berbenturan dalam kotak-kotak negeri

Diujung sana aku lihat
Bulatnya mentari mengitari sebarkan harapan…

Aku lihat disini
Hitam dan putih bergerak cari posisi
Berlomba raih kemenangan
Bahkan berbaur demi ruangruang kosong

Hingga akhirnya aku lihat
Merah pucat membentang datar
Tanpa gelombang
Tanpa garis
Tanpa lengkung
Dan bergerak seperti biasa
Menghabiskan waktu yang melaju


Lanasetra
Erlangga, 20 Januari 2007

Aku Malu Padamu

Sesaat inspirasiku mandek
Aku tatap garis hitam memanjang
Bergerak searah menuju sebuah ujung 
Jauh…pada dinding seberang tempatku bercokol

Wujudnya kecil tapi jumlahnya besar
Mungkin bisa dua pertiga dunia
Badannya hitam tapi jiwanya putih
Mungkin tak ada dengki diantara mereka 
Kaki dan tangannya lemah tapi perkasa dalam kebersamaan
Mungkin dapat goncangkan mayapada ini

Lihat mereka,
Satukan barisan dalam komando
Satu tujuan menyelesaikan takdir
Jalannya beriringan tepuh jalan serupa
Satu niat membangun komunitas
Bersama dan kerjasama hancurkan duri-duri tersebar
Satu keyakinan mempertahankan hidup
Hangat dan mesra dalam balutan jabat dan peluk
Satu cinta membina silahturahmi

Ya Allah, 
Inikah yang kau pertontonkan
Aku malu menjadi khalifah dimuka bumi
Negeriku membentang hingga 1.9 juta mil dari barat ke timur
Cairan hitam dalam perutnya sumber kehidupan
Nadinya hijau subur memanjakan manusianya
Organnya berwarna kuning silaukan nafsu purbakala
Permandaninya biru menyimpan kesejukan 
Bahkan kentutnya menjadi rebutan negeri asing 

Tapi disini aku malu
Seperempat milyar penduduknya terhantam gelora nafsu
Tersebar kehilangan nurani
Anak-anak bangsa bertikai demi organ bernama perut
Injak menginjak berebut bangkai saudaranya
Tipu menipu kepintaran yang dibanggakan
Menikam 35 juta roh-roh tak berdaya
Kasar dan menjijikan lantang berikan janji
Keruk semuanya selagi mumpung…

Sesaat inspirasiku mandek
Aku tatap garis hitam memanjang
Bergerak searah menuju sebuah ujung 
Jauh…pada dinding seberang tempatku bercokol
Duhai semut-semut kecil 
Aku malu padamu…

Lanasetra
Erlangga, 13 Januari 2007

Disini Dan Disana

Disini tak terlihat apalagi disana
Tak melintas lagi gadis berkerudung putih itu
Hanya puser dan gumpalan dada yang tampak
Tertancap membentang dan gratis untuk dinikmati

Disini tak terdengar apalagi disana
Tak jenaka lagi bocah tambun itu
Hanya jeritan dan rintihan yang terucap
Biasa dan siapa peduli sambil menyumpal telinga

Disini tak terasa apalagi disana
Tak bergetar lagi cinta petinggi negeri
Hanya gelora dan nafsu yang terangkat
Berkompetisi menjamuri liku-liku bangsa

Disini tak terlihat
Disana juga tak terlihat
Disini tak terdengar
Disana juga tak terdengar
Disini tak terasa 
Disana juga tak terasa

Kemana semua ini?
Sirna atau dimusnahkan!

Lanasetra
Erlangga, 12 Januari 2007

MALAM,…AKU LELAH

Malam ini terasa letih
Inginku pejamkan jendela jiwa ini
Tapi aku tak bisa

Malam ini terasa lelah
Inginku matikan harddisk di batok kepala ini
Tapi aku tak bisa 

Aku lelah dan muak malam ini
Aku ingin tidur atau datangkanlah matahari
Biarkanlah aku tertidur 
Tinggalkan kepenatan duniawi
Datangkanlah gelap dikelopak mataku
Agar perlahan jiwaku menuju dimensi yang tak ku mengerti
Perlahan…
Pelan…
Melayang…
Terbuai…

Malam…ijinkan aku terpejam
Beberapa jam saja…

Lanasetra
Erlangga, 08 Januari 2007

Hari Pertama Di Tahun Ini

Saat matahari piket
Ia tidak mengetahuinya bahwa ada yang istimewa
Mungkin biasa baginya
Muncul, bersinar dan kembali tertidur setelah lelah bekerja
Kemudian bulanpun menggantikannya
Terus menerus… seratus, ribuan, bahkan jutaan tahun lampau

Sementara, aku duduk termangu
Menelusuri jejak yang aku tinggalkan tahun lalu
Berliku, penuh tombak menghujam, dan setan durjana
Merobek baju jirah putihku
Didadanya terkoyak hingga menyembul daging putihku 
Lalu memerah, terasa perih dan menyakitkan
Pada bagian kepalanya rengat merusak penglihatanku
Kesulitan membedakan antara hitam dan putih
Sisi perutnya tergores memanjang lelehkan cairan hitam
Akibat tak ingat lagi halal dan haram…

Saat ini matahari baru mengintip…
Didalam duduk aku merajutnya kembali
Memperbaikinya untuk aku kenakan menembus belantara baru
Koyakannya aku tambal dengan doa, obati luka agar putih kembali 
Bagian helmnya aku tambahkan infra red 
Agar aku tak tersesat membedakan baik dan buruk
Sisi perut aku anyam dengan cinta 
Agar tak rakus menyatap, dan cairan hitam itu kembali memerah…

Kemudian matahari muncul
 “selesai” bathinku berkata
Sambil beranjak jirah putih kukenakan
Melenggang susuri jalan tinggalkan pertapaan
Mmm…Terasa nyaman!


Lanasetra
Erlangga, 08 Januari 2007

Melacurnya Sang Putri

Ia ditakdirkan ada dengan keelokannya…
Tapi ia juga digariskan sebagai bahan rebutan

Ia ditakdirkan bersama senyum menawan
Tapi ia juga selalu disakiti

Ia pancarkan aura pesona kepenjuru jagad
Tapi ia juga selalu dilecehkan

Ia berlenggok menawan dalam interaksinya
Tapi ia juga selalu dibodohi dan tertipu

Kawan…
Kecantikannya memudar, redup hingga nyaris sirna kertaning bumi
Pada perkawinan pertamanya,
Sang putri bersandang dengan pangeran seberang berkulit putih
Terkenal dengan tubuhnya yang besar, gagah dan perkasa…
Lelaki itu sangat menyayanginya apapun akan di berikan tuk sang putri
Kekayaan…teknologi…pertahanan…perlindungan, semuanya dikabulkan
Meski cairan hitam kental dalam vaginanya disedot terus
Kemudian payudaranya dieksplorasi mencari titik-titik kekayaan alam
Hingga cairan kuning kemilau itu muncrat, memberikan gizi pertumbuhan ekonomiannya

Perkawinan yang harmonis, saling memberi dan menerima
Serasi hingga koboi-koboi seberang lautan cemburu
Tapi sang koboipun tak ingin kalah dengan rivalnya  
Tergiur keelokan yang memanjang…

Bisik-bisik, Kasak-kusuk, Gombal-gambil, Tipu-tipu
Si Putri pun tergoda dan bersanding dengan koboi itu…
Sementara Pangeran berkulit putih kalah tanpa duel
Lalui muslihat dan ia menjelma sheriff.

Sheriff baru itu memberikan segalanya
Lebih dari lelaki pertamanya meski harus melayani siang malam
Setiap hari, selama seminggu, sebulan, setahun, hingga puluhan tahun
Sherif rakus menikmati tubuhnya
Payudaranya yang dahulu membusung, dengan lebat rambut halusnya 
Kini keriput dan tandus…
Sementara cairan hitam kental vaginanya mulai kering kerena sedotannya siang-malam

Pernikahan yang memilukan, terpasung dan tak berdaya
Namun pesonanya belum sirna…hanya berkurang
Tubuhnya tak lagi terawatt
Melacurkan diri sebagai pilihan untuk meneruskan hidupnya
Membuat iba pendekar pedang tuk membookingnya…
Bahkan lelaki sejagadpun 
Ada yang terus terang atau main mata
Ada yang malu-malu atau juga munafik
Tuhan,
Tolonglah ia…

Lanasetra
Erlangga, 8 Januari 2007

Plakat Cinta

Yulia,
Calon Ibu anak-anakku
Kausematkan pada dadaku
Sebuah kata “aku selalu mencintai mu”
Dari bibir ranum ketika menyentuh teliangku
Plakat cinta yang sederhana,
Tapi jarumnya menusuk dan membius kulitku
Kemudian aku merasakan getaran halus merayap dibawah lapisan kulit
Berdenyut-denyut dalam nadi-nadi berwarna hijau
Mengalir dan merambat menjadi besar
Getaran halus itu kini menjelma gelombang dahsyat 
Siap menghantam seluruh isi jantung…

“Blarrr…”
Dalam hitungan lima detik jantungku berhenti terhantam gelombang itu
Dindingnya bergetar hebat mengacaukan seluruh syaraf 
Sukmaku yang bersemedi didalamnya terlontar jauh
Tinggi dan terus meninggi,
Hingga batasnya untuk terjun kembali
Deras meluncur menuju altarnya…

“Nyess…”
Semua berubah 
Labirin-labirin jantungku tertata rapih seperti hari lebaran
Seluruh dengki - amarah - kemunafikan dalam hatiku ikut terhempas 
Lebih jauh dari sukmaku
Kemudian berdegup kembali…dug-dug…dug-dug…dug-dug
“Ough…kenikmatan ini melebihi ejakulasi” gumamku.

Yulia,
Calon nenek dari puluhan cucuku
Plakat sederhana ini kurawat selalu
Dengan cairan cinta jua aku usap hingga berkilau
Hingga menyilaukan Rama dan Sinta
Membutakan Romeo dan Juliet

Yulia…hingga tangan tua keriput ini berhenti 
Aku jaga apa yang kau sematkan…


Lanasetra
Erlangga, 07 Januari 2007

Aku Panggil Dia Mama

Dia wanita tinggi putih berambut Pirang cat-an
Lagaknya seperti gadis seventeen, meski kadarluasa dilumat waktu
Lengak-lengok tonjolannya tak lagi menawan, tapi tetap merangsang libido 
Kemudian di samarkan kerutan dengan Make-up merk atas…sama seperti sisi kehidupannya.

Awalnyapun aku tak tahu…
Dia yang tak lagi muda menyadar pada sebelah dadaku
Bercerita dan mengoceh
Mendesir telinga berupaya meraba syaraf-syaraf halusku
Setelah itu meremas semua otot-otot dalam batok kepala  
Tapi semuanya tak berakhir, lagi dan lagi.

Bla…Bla…Blu…kamu tahukan?
 Weleh…Walah…Oalah…Kasihan deh aku!
  Ough…Uhuk…Cuih…Kamu ngertikan.

Dia wanita tinggi putih berambut Pirang cat-an
Jemarinya halus licin tak tersentuh efek detergen
Apalagi kuku-kukunya, 
Terawat rapih, karena dipergunakan bukan untuk cabe - bawang, dan bumbu dapur lainnya
Lipstik merah tak pernah absent dari bibirnya sebagai senjata rengekannya

Mmm…
Aku memanggilnya mama,
Mama yang sedang terkulai, tak perkasa dan sejumawa dahulu
Bak bayi mungil merapat dan mencengkram erat otot pundakku
Nyaman dalam kehangatan kemudian ia tertidur dipelukan
Mendengkur pulas isyaratkan terlindung dari nafsu sang butocakil 
Iya…butocakil yang selalu mengeluarkan liur dan desahan
menahan gelora pada kantung menyannya.

Mmm…
Aku memanggilnya mama,
Terkadang ia berlari menghampiriku, parasnya takut disembunyikan 
Memeluk dan manja meminta aku berlaga adu digjaya dengan sang buto
Raksasa yang lebih segalanya dariku…
Rakus memakan manusia bahkan sesamanya
Licik menjelma bak nabi pembawa risalah, padahal hanya iblis yang angkuh dan bodoh
Iya…hanya dua kali dari tujuh jurus ia menjatuhkanku


Mmm…
Aku memanggilnya mama,
Apalagi seluruh pertapaan berujar hal yang sama
Walaupun sorot matanya ingin menikmati.

Erlangga, 07 Januari 2007

Sayang,...Aku Tak Peduli!

Kubutakan mataku dari anjing-anjing lepra
Kuganjal telingaku dari gonggongan sembernya
Kubungkam bibir ini agar tak sepatah makian terlontar

Aku tetap tak beranjak, meski moncong keparat itu menyalak
Tak bergeming, coba leburkan jiwa dalam khayalan…tak peduli pada kenyataan 
Iya..iya…aku merasakan mereka pancing amarahku…

Oalah…asu-asu rumahan itu tetap meneriaki aku
Lagaknya santun memakai kopiah putih 
Jikalau bicara keluarkan suara besar walau nadinya kecil
Melengking merasa benar menyambut majikannya…padahal hanya klakson mobil tua yang melintas.

Hidungnya merasa pintar mengendus-endus
Ya…hanya mengendus santapan tetangga, 
Kemudian dengan rakus giginya bergemeretuk, melumat dan menelannya
Dan tertidur diantara tong sampah ujung gang…
Iya…ya…mereka mengajakku ”Ayo kita bermain”

Tunggu!
Hatiku membeku saat ini...
Gumpalannya memutih, membentuk kerak tak menawan
Kedengkian mengendap dan menetap menjelma kristal-kristal putih
Akhirnya bersedimen ciptakan kemuakan, meski tak mampu muntahkan kata
“Terkutuk kalian!”

Kemudian hati ini mengeras,
Lebih keras dari batu karang, lebih keras dari intan berlian
Tak tergores apalagi terkikis walau dewa-dewa bertitah
Mengeras dan berdiam, melekat erat mencengkram jiwa putih
Mungkin rayuan Cleopatrapun tak mampu melembutkannya
Ah…aku tak mengerti apa yang menghangatkan.

Hati yang beku keluarkan kepulan asap putih berputar dan berputar
Wujudkan emosi purbakala yang terperangkap, 
Mencari celah keluar sebagai ujung kesirnaan…
Biarkan zat tersebut berotasi pada sukmaku
Hingga saatnya tersibak, dan ujung-ujung asap itu menari, bergoyang dan menjilat semua didepannya…

Sayang…aku tak peduli!

Erlangga, 6 Januari 2007